OPINI
EKOLOGI DAN GLOBALISASI
Download dalam bentuk word klik DISINI
Belakangan
ini sangat mudah ditemui berbagai gedung-gedung yang mulai dibangun di Kota
Kupang. usaha ini perlu diapresiasi karena hal ini menandakan Kota Kupang mulai
peka dengan perkembangan dunia yang semakin menuntut pembangunan nyata dalam
segala aspek kehidupan, termasuk pembangunan berbagai fasilitas umum. Usaha
mempercantik wajah Kota Kupang ini terlihat diseputaran Pasir Panjang, Kelapa
Lima bahkan jalan ElTari II Kupang. Berbagai gedung pencakar langit mulai bermunculan,
mulai dari fondasi hotel, sampai pada aula yang mewah dan restoran berbintang
yang megah. Tapi sadar atau tidak sadar, kemegahan yang mulai tampak ini
bagaikan membuka kotak “Pandora”. Di
satu sisi pembangunan ini merupakan tuntutan perkembangan dunia global, tetapi
di sisi lain pembangunan ini secara langsung memberikan dampak terhadap ekologi
atau lebih khusus kepada kelestarian lingkungan hidup pesisir dan jalur hijau
yang ada di Kota Kupang.
Pembangunan berbagai gedung megah yang ada, sadar atau tidak sadar merupakan dampak dari Globalisasi. Globalisasi adalah era di mana semua aspek kehidupan dituntut untuk turut berkembang seturut keinginan zaman. Kupang sebagai daerah yang berkembang juga turut dituntut untuk menyesuaikan diri dengan arus global. Salah satu indikator Kota Kupang turut menyesuaikan diri adalah dengan dibangunnya berbagai hotel dan bangunan megah yang menggambarkan megahnya pola kehidupan masyarakat berkembang, namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah ukuran kemajuan sebuah kota ditentukan dengan pembangunan gedung-gedung mewah seperti perhotelan yang ada di Kota Kupang?
Pembangunan gedung-gedung megah tersebut memberikan dampak buruk
bagi ekologi dan lingkungan hidup. Pembangunan berbagai hotel di sepanjang Kelapa
Lima banyak menggunakan daerah pesisir pantai. Meningkatnya pemanfaatan ruang
terbangun di kawasan pesisir yang diakibatkan perkembangan Kota Kupang akan
mempengaruhi daya dukung atau kapasitas lingkungan wilayah pesisir, serta
menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan sekitar jika penggunaannya tidak
disesuaikan dengan kaidah-kaidah keberlanjutan. Pada saat ini, dampak dari
pemanfaatan ruang terbangun kawasan pesisir belum terlalu berpengaruh besar
pada kawasan pesisir Kota Kupang namun jika aktivitas tersebut tidak segera
dikurangi tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan dampak yang lebih besar
lagi bagi masalah ekologi. Sesuai aturan Undang-Undang Republik Indonesia
nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum. Pembangunan di daerah pantai harus
memperhatikan dan menjaga daerah pesisir pantai. Lebih jauh lagi, pantai yang
dulunya bebas dikunjungi oleh siapa saja kini jadi hak eksklusif bagi kaum yang
memiliki uang sejak diberlakukannya HTM (Harga Tiket Masuk) di berbagai hotel
dan daerah wisata.
Kembali keberadaan gedung-gedung membuat masyarakat luaslah yang mengalami kerugian jangka panjang. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan perencanaan tata ruang wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan pemanfaatan RTH yang luas minimalnya sebesar 30% dari luas wilayah kota. RTH di perkotaan terdiri dari RTH Publik dan RTH privat di mana proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% RTH publik dan 10% terdiri dari RTH privat. Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Target luas sebesar 30% dari luas wilayah kota dapat dicapai secara bertahap melalui pengalokasian lahan perkotaan secara tipikal (Permen PU No. 5 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan).
Namun fakta di lapangan menyatakan bahwa keberadaan RTH yang jauh dari proporsi ideal, kekuatan pasar yang dominan merubah fungsi lahan sehingga keberadaan RTH semakin terpinggirkan bahkan diabaikan fungsi dan manfaatnya. Tata ruang yang diharapkan dapat mengakomodasi seakan tidak berdaya menahan mekanisme pasar. Perangkat hukum mengatur penataan ruang hendaknya diimplementasikan dengan baik oleh pengambil keputusan. Pemerintah harus konsisten dalam menjalankan penataan ruang. Penyediaan RTH harus disesuaikan dengan peruntukan yang telah ditentukan dalam rencana tata ruang. UU Penataan Ruang yang memuat sanksi dapat digunakan sebagai payung hukum untuk memenuhi kebutuhan RTH.
Keberadaan
ini membuat masyarakat diperhadapkan pada dilema, yang mana di satu sisi
pembangunan ini menunjukkan perkembangan Kota Kupang yang cukup pesat, terutama
dibidang pariwisata. Namun di sisi lain pembangunan ini berpotensi untuk
menyumbang berkurangnya Ruang Terbuka Hijau dan kerusakan ekologi. Pemerintah
kota yang berkewenangan mengatur tata kota dan perkembangan kotalah yang harus
menjadi muara untuk masyarakat bertanya: apakah berbagai pembangunan ini telah
memenuhi syarat tata kota? Apakah pelayanan masyarakat menjadi pusat dari
pembangunan ini? Ataukah ini hanyalah keuntungan bagi kaum kapitalis dan
pemilik modal?
Memang harus diakui meningkatnya pembangunan kota turut mengembangkan perekonomian masyarakat. Tetapi sisi ekonomi bukanlah satu-satunya bagian yang perlu diperhatikan dalam situasi ini. Sebab ekonomi masyarakat yang berkembang tidak akan berarti apabila kenyamanan dan kesejahteraan masyarakat luas terabaikan.
Situasi yang ironis kembali dihadapi ketika kita menyadari bahwa banyak aktifis dan organisasi masyarakat yang terus menyuarakan mengenai pentingnya menyelamatkan bumi dengan melakukan penanaman pohon. Pemerintah pusat dari tingkat nasional sampai ke daerah-daerah juga turut menggalakan program penanaman pohon dengan program-program Kupang Green and Clean. Tidak hanya itu dalam sisi akademik terus dibahas mengenai ekologi dan lingkungan hidup, namun masih kurangnya membangun komunikasi dengan pemerintah sehingga pemerintah Kota Kupang sendiri terkesan acuh terhadap keberadaan pembangunan yang secara nyata menggangu lingkungan hidup, padahal pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mengatur perijinan pembangunan dan pembelian lahan di Kota Kupang. Kembali kita diperhadapkan pada pertanyaan, apakah globalisasi dan berbagai pembangunan yang terkandung di dalamnya mengganggu kelestarian lingkungan hidup? Ataukah perkembangan kehidupan masyarakat harus dibarengi dengan perkembangan kepekaan kita terhadap kelestarian lingkungan hidup? Kita sebagai manusia yang beragama harus sadar bahwa kita hanya salah satu makluk ciptaan dari Sang Ilahi, sehingga perlu untuk menjaga keberlangsungan hidup semua ciptaan yang lain juga dalam memanfaatkan alam. Selamat berefleksi.
BIODATA PENULIS:
NAMA : SETIAWAN PATTIPEILOHY,
S.Th
MAHASISWA PASCASARJANA
UNIVERSITAS KRISTEN
ARTHA WACANA KUPANG
1 komentar:
yo,,,lah
Posting Komentar